“Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yang terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yang disaksikan sebagai tanah menjorok dengan lautan di sebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yang berada di luar diri manusia. Tanah itulah yang disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat).”
“Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para pencari Kebenaran yang sudah berenang di perbatasan alam kasatmata dan alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para penempuh jalan rohani (salik) yang benar-benar bertujuan mencari Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yang berenang di lautan sebelah kiri, di antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yang penuh diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih duniawi.”
“Sesungguhnya, peristiwa yang dialami Nabi Musa AS dengan Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yang berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yang telah saya jelaskan, yang disebut dua lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).”
“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yang berbeda dengan wilayah perbatasan yang berdampingan dengan dunia gaib (‘alam al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan yang melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan berenang di dalam alamnya, yaitu lautan. Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yang berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat air dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yang meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yang tak bisa dilihatnya.”
“Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia yang diliputi udara kosong dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara kosong yang meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan udara kosong yang ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa udara kosong yang meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yang tidak bisa dilihatnya.”
“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yang mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, di balik keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib yang menyelubungi manusia dari Kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu dengan Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.”
“Adapun bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yang hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”
“Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yang lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.”
“Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dengan bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke lautan adalah tempat yang dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yang dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yang memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yang memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).”
“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yang telah mereguk Air Kehidupan (ma’ al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di antara manusia yang berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yang tersembunyi di dalam diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki (as –Rasyid).”
“Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna (bahr-al-ma’na) yang merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-wujud). Namun, jika terputus penglihatan batin (bashirab) itu pada titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.”
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yang hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing menusia akan mengalami pengalaman rohani yang berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yang akan manusia alami tidak selalu mirip dengan pengalaman yang dialami Nabi Musa AS.”
“Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yang mereka gunakan untuk menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yang lazimnya digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yang sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”
“Setelah penumpang perahu mengenal air yang mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang Maha Ada (al-Wujud), yang bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti penumpang perahu yang lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yang merupakan pengejawantahan Yang Maha Indah (al Jamal).”
“Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.”
“Sebab, wahana adalah kendaraan bagi manusia yang hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yang tidak jelas batas-batasnya. Alam yang tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yang berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dengan akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yang disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yang dilakukan Khidir AS benar-benar bertentangan dengan hukum suci (syari’at) dan akal sehat yang berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.”
“Namun jika wahana (syari’ah) tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dengan akal (‘aql) melainkan dengan dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yang disebut cara (thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dengan Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yang tidak jelas batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”
“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.”
“Anak adalah perlambang keakuan kerdil yang kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yang teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yang kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil yang kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.”
“Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan kerdil yang kekanak-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yang kerdil dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir ghulam yang lebih baik dan lebih diberbakti yang melihat dengan mata batin bahwa dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).”
“Sesungguhnya, keakuan kerdil yang kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yang cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yang baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yang cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yang sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi Ismail AS. ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yang beriman (mu’min).”
“Adapun dinding yang ditinggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yang disebut juga dengan Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yang di bawahnya tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yang ingin diketahui.”
“Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa AS, yang keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani (roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”
“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yang mewariskan Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yang telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yang penuh dengan perlambang (isyarat).”
“Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu. Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yang berasal dari anasir tanah yang tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).”
“Sehingga tidak akan pernah terjadi perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya yang shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh maka saat itu yang ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yang merupakan pancaran dari Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dengan kaedah-kaedah nalar manusia karena akan membawa kesesatan. Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.”